Mading El-hida
Kyai Pesantren dan Perubahan Zaman
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
Mengapa
ada kyai pesantren? Mengapa ada orang yang mau mengorbankan tenaga, pikiran dan
hartanya untuk masyarakat? Mengapa ada orang yang bersedia mendidik anak-anak
orang tanpa dibayar? Mengapa ada orang yang ikhlas menunjukkan jalan mereka
yang tidak ingin tersesat dan siap menampung keluh-kesah mereka yang gelisah?
Jawabnya,
tentu saja tidak sesederhana mubalig menyitir dalil. Karena ada janji Allah
bagi mereka yang berjuang fii sabiiliLlahi biamwaalihim wa anfusihim akan
mendapatkan pahala yang luar biasa. Karena ada sabda Rasulullah SAW “Man lam
yahtam biamril mu’miniina falaisa minhum” (Barangsiapa tidak memperhatikan
urusan orang-orang mukmin, maka dia tidak termasuk golongan mereka). Atau,
karena dalil-dalil lain yang menyarankan untuk berbuat baik kepada orang.
Dalil-dalil
itu ”hanyalah” semacam motivasi. Kondisi masing-masing pribadi yang
bersangkutanlah yang lebih menentukan. Kondisi yang memenyebabkan dirinya mudah
termotivasi oleh dalil-dalil mulia agama itu. Kondisi al-mu’minul qawwiy,
mukmin yang kuat. Memiliki cukup ilmu, kearifan; kemuliaan akhlak; kesungguhan
dan ketekunan, kepekaan sosial dan kaya terutama secara batin.
Mungkin
dari sudut ilmu, yang bersangkutan tidak terlalu istimewa, tapi pemahaman
tentang inti ajaran agamanya mendalam. Sehingga dengan demikian, muncul dari
dirinya kearifan, perilaku yang terpuji dan kepekaan sosial yang tinggi.
Mungkin dari sudut harta, tidak terlalu kaya; tapi sikap qana’ah dalam dirinya
menjadikannya seorang yang ”kaya raya dari dalam” atau kaya secara batin.
(Kalau kaya dalam pengertian umum, yakni memiliki banyak materi, saya sebut
”kaya dari luar”. Kaya dalam bahasa Arab disebut ghaniy, kebalikannya ialah
faqiir. Ghaniy memiliki arti tidak butuh,
sedang
faqiir berarti membutuhkan. Allah=Al-Ghaniy dan kita hamba-hambaNya=Al-Fuqaraa,
orang-orang yang faqiir).
Dari
sekian faktor yang disebutkan, boleh jadi faktor kekayaan-dalam dua
pengertiannya-merupakan kondisi pendukung yang penting-kalau tidak paling
penting-bagi seseorang melakukan peran kemasyarakatan dan pendidikan masyarakat
secara ikhlas dan lilllaahi ta’alaa, sebagaimana yang dilakukan kyai pesantren
di zaman dahulu.
Lain
dahulu lain sekarang. Meski dalil-dalil mulia masih tetap yang itu-itu juga
(dari Quran dan Sunnah Rasulullah SAW), namun kekuatannya sebagai motivasi
tidak lagi sama seperti dahulu. Kehidupan telah berubah sedemikian rupa.
Pandangan terhadap hidup dan kehidupan serta cara dan gaya hidup orang sudah berubah sama sekali.
Kaya dari dalam, misalnya, sudah langka kita temukan. Sementara, untuk menjadi
kaya dari luar, tidak cukup kesungguhan. Kesungguhan dan ketekunan seperti
sudah bertekuk-lutut kepada apa yang disebut sebagai budaya instan. Padahal,
iming-iming materi bagi menikmati kehidupan semakin merajalela.
Dari
segi sosial-politik, perubahan pun luar biasa. Di zaman Orde Lama, politik
menjadi panglima. Di zaman Orde Baru, panglimanya ganti ekonomi. Lalu, di zaman
yang konon disebut era reformasi ini, kembali politik menjadi panglima.
Bedanya-setelah melewati era Orba yang sangat mendewakan dunia-”sang panglima”
pun berupa politik dengan ”rasa ekonomi”. (Artinya, politik yang dapat
menunjang perekonomian dan kesejahteraan politisi sekeluarga).
Perubahan
melindas semua, tidak terkecuali kyai mubalig; kyai dukun atau kyai pesantren.
Tinggal siapa lebih kuat menghadapi semua perubahan itu. Sabda Nabi Muhammad
SAW, Al-mu’minu lqawiyyu khairun wa ahabbu ilaLlaahi mina lmu’minidh dha’iif…”
(HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah r.a.). Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah. [ GM ]
Komentar
Posting Komentar